Akhir – akhir ini perempuan Indonesia sedang ramai – ramainya membicarakan
draft RUU KKG. Pembicaraan yang mulai panas di kalangan anggota DPR terutama
komisi VIII sampai ke kalangan aktivis mahasiswi. Rung – ruang diskusi mereka
mulai dari ranah politik berbasis BEM sampai ranah keagamaan berbasis LDK.
Topik yang dibahas pun tidak hanya sebatas pada tataran pasal mana yang
bermasalah tapi juga pada tataran ”bagaimana agama menanggapi” pasal tersebut
Namun, kadang saya masih bertanya dlam hati, ketika kita membicarakan RUU
KKG kita sendiri memahami atau tidak apa itu RUU KKG ? Relevansinya terhadap
perempuan Indonesia? Dan sebenarnya apakah Undang – Undang ini perlu (nantinya)
?
***
Sebagai perempuan Indonesia, tentu kita mengetahui bahwa pejuang perempuan
yang sering diagung – agungkan atas usahanya mengemasipasikan wanita adalah R.A
Kartini. Wanita asal Rembang ini sukses membuat para perempuan Indonesia
mengagumi slogan tentang emansipasi wanita. Namun sayangnya, tidak semua wanita
Indonesia mampu menempatkan slogan emansipasi wanita sesuai pada tempatnya
(baca : memahami arti emansipasi wanita).
Banyak perempuan Indonesia yang mendefinisikan emansipasi wanita adalah
suatu kesempatan kepada setiap wanita untuk dapat mengekspresikan dan menyalurkan
kemampuannya dalam banyak hal. Ada lagi perempuan yang menganggap bahwa emansipasi
adalah kesempatan untuk setiap wanita agar ia bisa bebas dari cengkraman laki –
laki yang selama ini dianggap sebagai pihak yang mengekang kebebasan seorang
perempuan. Bahkan langkah kongkitnya adalah emansipasi dianggap sebagai alat
untuk memuluskan jlan bagi wanita yang menginginkn menjadi wanita karir, yang
nantinya hidupnya untuk karir bahkan tidak jarang menjadi wanita yang jarang
sekali berada di rumah.
Namun, ketahuilah bahwa emasipasi yang seperti ini, bukanlah emansipasi yang
diinginkan oleh R.A Kartini. Dalam sebuah penggalan surat Kartini pada Prof.
Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902, mematahkan itu semua.
“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan
pendidikan perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak
perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi, karena
kami yakin pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih
cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam
tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.
Jadi, konsep emansipasi yang sebenarnya diinginkan RA Kartini adalah konsep
seorang wanita itu akan kembali ke rumah. Mendidik generasi penerus bangsa ini.
Melalui pendidikan !
Oleh karena itu, Kartini sangat menginginkan sekolah pada saat itu. Bahkan
ia juga menginginkan para wanita dapat mengenyam pendidikan saat itu.
***
Atas dasar itulah Kartini mendapatkan gelar pahlwan perempuan yang
memperjuangkan kebutuhan wanita.
Namun, sejak munculnya wacana Draft RUU KKG, banyak wanita yang salah
kaprah akan lahirnya draft ini. Beberapa golongan wanita mendefinisikan RUU KKG
ini adalah calon undang – undang yang nantinya akan membuat wanita agak sedikit
bebas melakukan banyak kegiatan. Beberapa golongan wanita bahkan menganggap
hadirnya RUU KKG ini mampu membuat mereka menjadi ”wanita seutuhnya”, yang
menurut definisi mereka adalah –yang- cemerlang dari segi karir, dan –mampu-
menyaingi kaum pria. Hal ini tentu tidak relevan dengan konsep emansipasi
wanita yang dibawa oleh Kartini. Yang memang tidak menginginkan wanita untuk
berada di luar rumah sebebas bebasnya, Kartini hanya menginginkan wanita
mendapatkan pendidikan yang laik dan mampu kembali ke rumah untuk mengurus anak
– anaknya.
Sehingga perlu dilihat lagi secara teliti maksud dari akan lahirnya UU ini.
apakah memang sesuai dengan konsep emansipasi wanita yang diusung oleh Kartini
atau kah perbuatan sekelompok orang yang memang menginginkan wanita bebas sebebas – bebasnya tanpa memahami hakikat seorang wanita sesungguhnya...
wallohu’alaam
wallohu’alaam
Ciputat, 2 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar