Minggu, 22 Juli 2012

Polemik Undang – Undang Zakat dan “Turunan”

 
Perkembangan penghimpunan dana zakat akhir – akhir ini, ternyata disikapi oleh pemerintah denganagak sedikit ”ketakutan”. Munculnya UU Zakat No 23 Tahun 2011 menunjukkan kesan bahwa pemerintah hendak membatasi gerak pengelolaan dana zakat yang akhir – akhir ini sedang naik daun, terutama pengelolaan dana zakat yang dilakukan oleh Lembaga Amil Zakat pihak swasta. Padahal sebenarnya munculnya UU Zakat ini diharapkan akan membawa angin segar untuk perkembangan zakat di Indonesia. Hal ini dikarenakan banyak pihak yang menganggap dengan munculnya UU Zakat ini akan membuat peningkatan yang cukup baik terhadap pengumpulan, pengelolaan dan pendistribuasian dana zakat menjadi lebih efektif dan efisien.
Namun, setelah ditelisik lebih dalam, UU cenderung bersikap sangat arogan terhadap lembaga zakat milik pemerintah, dalam hal ini BAZNAS. Hal ini disebabkan beberapa pasal dalam UU ini mengisyaratkan perlakuan anak tiri tehadap Lembaga Amil Zakat milik swasta dan membuat adanya kastanisasi dan hierarki terhadap lembaga zakat, terutama milik swasta.

KASTANISASI DALAM KEBAIKAN

Dalam UU tersebut seperti disebutkan dalam pasal 5 ayat 1,
”Untuk melaksanakan pengelolaan zakat, Pemerintah membentuk BAZNAS”. Dalam ayat ini seakan peran Lembaga Amil Swasta di Indonesia diingkari. Dan terkesan bahwa pemerintah tidak menyetujui adanya LAZ yang berasal dari kalangan sipil. Hal ini tentu mempersulit pendirian lembaga zakat secara independen dan tradisional (lembaga zakat yang ada, saat Ramadhan). Padahal di desa – desa yang jauh dari perkotaan masih banyak LAZ yang bersifat tradisional. Dan peran mereka dirasa cukup signifikan untuk menyalurkan dana zakat.

Dalam pasal 5 ayat 3 dan di pasal 6, BAZNAS dirasa akan memiliki dwifungsi peran. Selain sebagai regulator BAZNAS juga akan menjadi operator dalam pengelolaan zakat. Hal ini tentu akan membingungkan para pengelola zakat. Karena dalam melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan zakat, mereka harus meminta izin kepada BAZNAS dan harus melaporkan setiap laporan keuangan kepada BAZNAS. Hal ini juga seakan – akan menunjukan bahwa LAZ yang ada di Indonesia merupakan anak buah dari BAZNAS dan merupakan bentukan BAZNAS dengan fasilitas dari BAZNAS dan pemerintah.

ANCAMAN KKN DALAM KEBAIKAN

Dalam perekrutan pegawai BAZNAS juga dilakukan oleh presiden dan anggota DPR. Hal ini tentu akan membuat terjadinya suatu kemungkinan yang tidak diinginkan. Apalagi sudah memasuki ranah anggota DPR. Hal ini tentu terkesan bahwa perekrutan anggota BAZNAS sangat politis dan akan membuat kesan bahwa untuk perekrutan anggota BAZNAS bisa terjadi –siapa yang dekat dengan kekuasaan, maka ia dapat menjadi anggota BAZNAS.

Pada pasal 30 ayat 1, dikatakan bahwa pembiayaan BAZNAS dilakukan dengan menggunakan dana APBN dan hak amil. Hal ini tentu akan membuka peluang terjadinya kebocoran –lagi- dalam APBN. Satu sisi LAZ dihadapkan kepada disiplin pasar yang tinggi karena kelangsungan operasional-nya sepenuhnya bergantung pada zakat yang dihimpun, BAZNAS mendapat pembiayaan dari APBN dan APBD dan tetap berhak menggunakan zakat untuk operasional- nya, yaitu hak amil (Yusuf Wibisono & Fitra Arsil, 2012)

KEBAIKAN YANG “DIBAYAR” DENGAN SANKSI PIDANA

Munculnya LAZ di Indonesia tidak langsung muncul tiba – tiba begitu saja. Peran masyarakat yang sering mengumpulkan zakat fithrah ketika Ramadhan, di masjid atau mushala lingkungan rumah tentu menjadi inspirasi tersendiri akan munculnya lembaga zakat profesional. Peran – peran masyarakat seperti ini perlu diapresiasi. Bukan malah terancam pidana. Dalam UU ZAKAT ini, dikatakan bahwa segala pengumpulan zakat hanya boleh dilakukan oleh BAZNAS ataupun BAZDA. Lalu bagaimana dengan pengumpulan zakat yang dilakukan di kampung – kampung, yang jauh dari kota dan langsung mendistribusikan kepada tetangganya yang memang membutuhkan ?
Disini amil tersebut akan mendapatkan sanksi pidana ataupun denda. Hal ini sungguh tidak tepat. Kalau dipikir mah... mau berbuat baik, tapi kok malah didenda dan dipidana.


***
Pengelolaan zakat yang terhimpun dalam satu titik (sentralisasi) tidak menjamin peningkatan akan pengumpulan dana zakat yang terjadi di Indonesia. Terlebih jika memang persyaratan akan tata kelola (SDM, Administrasi dsb) tidak memenuhi standar keprofesionalitasan. Selain itu, pengumpulan dana zakat yang terjadi di Indonesia ini banyak yang berasal dari peran – peran masyarakat luas, yang sering mengumpulkan dana zakat di masjid atau mushala dan langsung disalurkan kepada orang – orang yang membutuhkan akan teringkari. Yang harusnya dilakukan oleh pemerintah adalah peningkatan kredibilitas dan kinerja dari BAZ dan LAZ yang ada di Indonesia. Hal ini bertujuan agar penyaluran dana zakat jau lebih baik dan tepat sasaran. Terutama untuk program dana zakat yang bersifat jangka panjang. Tidak hanya untuk konsumsi tapi juga untuk bertahan di tengah himpitan ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar