Perkembangan penghimpunan dana zakat akhir – akhir ini,
ternyata disikapi oleh pemerintah denganagak sedikit ”ketakutan”. Munculnya UU
Zakat No 23 Tahun 2011 menunjukkan kesan bahwa pemerintah hendak membatasi gerak
pengelolaan dana zakat yang akhir – akhir ini sedang naik daun, terutama pengelolaan
dana zakat yang dilakukan oleh Lembaga Amil Zakat pihak swasta. Padahal sebenarnya
munculnya UU Zakat ini diharapkan akan membawa angin segar untuk perkembangan
zakat di Indonesia. Hal ini dikarenakan banyak pihak yang menganggap dengan
munculnya UU Zakat ini akan membuat peningkatan yang cukup baik terhadap
pengumpulan, pengelolaan dan pendistribuasian dana zakat menjadi lebih efektif
dan efisien.
Namun, setelah ditelisik lebih dalam, UU cenderung
bersikap sangat arogan terhadap lembaga zakat milik pemerintah, dalam hal ini
BAZNAS. Hal ini disebabkan beberapa pasal dalam UU ini mengisyaratkan perlakuan
anak tiri tehadap Lembaga Amil Zakat milik swasta dan membuat adanya
kastanisasi dan hierarki terhadap lembaga zakat, terutama milik swasta.
KASTANISASI DALAM KEBAIKAN
Dalam UU
tersebut seperti disebutkan dalam pasal 5 ayat 1,
”Untuk
melaksanakan pengelolaan zakat, Pemerintah membentuk BAZNAS”.
Dalam ayat ini seakan peran Lembaga Amil Swasta di Indonesia diingkari. Dan terkesan
bahwa pemerintah tidak menyetujui adanya LAZ yang berasal dari kalangan sipil. Hal
ini tentu mempersulit pendirian lembaga zakat secara independen dan tradisional
(lembaga zakat yang ada, saat Ramadhan). Padahal di desa – desa yang jauh dari
perkotaan masih banyak LAZ yang bersifat tradisional. Dan peran mereka dirasa
cukup signifikan untuk menyalurkan dana zakat.
Dalam pasal 5
ayat 3 dan di pasal 6, BAZNAS dirasa akan memiliki dwifungsi peran. Selain
sebagai regulator BAZNAS juga akan menjadi operator dalam pengelolaan zakat.
Hal ini tentu akan membingungkan para pengelola zakat. Karena dalam melaksanakan
kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan zakat, mereka harus meminta izin
kepada BAZNAS dan harus melaporkan setiap laporan keuangan kepada BAZNAS. Hal ini
juga seakan – akan menunjukan bahwa LAZ yang ada di Indonesia merupakan anak
buah dari BAZNAS dan merupakan bentukan BAZNAS dengan fasilitas dari BAZNAS dan
pemerintah.
ANCAMAN KKN DALAM KEBAIKAN
Dalam
perekrutan pegawai BAZNAS juga dilakukan oleh presiden dan anggota DPR. Hal ini
tentu akan membuat terjadinya suatu kemungkinan yang tidak diinginkan. Apalagi
sudah memasuki ranah anggota DPR. Hal ini tentu terkesan bahwa perekrutan
anggota BAZNAS sangat politis dan akan membuat kesan bahwa untuk perekrutan
anggota BAZNAS bisa terjadi –siapa yang dekat dengan kekuasaan, maka ia dapat
menjadi anggota BAZNAS.
Pada pasal 30
ayat 1, dikatakan bahwa pembiayaan BAZNAS dilakukan dengan menggunakan dana
APBN dan hak amil. Hal ini tentu akan membuka peluang terjadinya kebocoran –lagi-
dalam APBN. Satu sisi LAZ dihadapkan
kepada disiplin pasar yang tinggi karena kelangsungan operasional-nya
sepenuhnya bergantung pada zakat yang dihimpun, BAZNAS mendapat pembiayaan dari
APBN dan APBD dan tetap berhak menggunakan zakat untuk operasional- nya, yaitu
hak amil (Yusuf Wibisono
& Fitra Arsil, 2012)
KEBAIKAN YANG “DIBAYAR” DENGAN SANKSI PIDANA
Munculnya LAZ
di Indonesia tidak langsung muncul tiba – tiba begitu saja. Peran masyarakat
yang sering mengumpulkan zakat fithrah ketika Ramadhan, di masjid atau mushala
lingkungan rumah tentu menjadi inspirasi tersendiri akan munculnya lembaga
zakat profesional. Peran – peran masyarakat seperti ini perlu diapresiasi. Bukan
malah terancam pidana. Dalam UU ZAKAT ini, dikatakan bahwa segala pengumpulan
zakat hanya boleh dilakukan oleh BAZNAS ataupun BAZDA. Lalu bagaimana dengan
pengumpulan zakat yang dilakukan di kampung – kampung, yang jauh dari kota dan
langsung mendistribusikan kepada tetangganya yang memang membutuhkan ?
Disini amil
tersebut akan mendapatkan sanksi pidana ataupun denda. Hal ini sungguh tidak
tepat. Kalau dipikir mah... mau berbuat baik, tapi kok malah didenda dan
dipidana.
***
Pengelolaan zakat
yang terhimpun dalam satu titik (sentralisasi) tidak menjamin peningkatan akan
pengumpulan dana zakat yang terjadi di Indonesia. Terlebih jika memang persyaratan
akan tata kelola (SDM, Administrasi dsb) tidak memenuhi standar
keprofesionalitasan. Selain itu, pengumpulan dana zakat yang terjadi di
Indonesia ini banyak yang berasal dari peran – peran masyarakat luas, yang
sering mengumpulkan dana zakat di masjid atau mushala dan langsung disalurkan
kepada orang – orang yang membutuhkan akan teringkari. Yang harusnya dilakukan
oleh pemerintah adalah peningkatan kredibilitas dan kinerja dari BAZ dan LAZ
yang ada di Indonesia. Hal ini bertujuan agar penyaluran dana zakat jau lebih
baik dan tepat sasaran. Terutama untuk program dana zakat yang bersifat jangka
panjang. Tidak hanya untuk konsumsi tapi juga untuk bertahan di tengah himpitan
ekonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar