Pemilukada DKI Jakarta telah berakhir. Namun, tampaknya
pertarungan masih belum selesai. Baik di media mupun di ranah nyata. Masing –
masing pendukung calon masih meramaikan media dan masyarakat untuk tetao yakin
dan percaya kapada calon yang diusungnya. Kalau menang berarti ”meyakinkan”
masyarakat karena tak salah pilih, karena calonnya akan bisa menyelesaikan masalah
Jakarta dengan berkaca pada kesuksesan yang didulang di daerah asalnya, tanpa
melihat latar belakang sang calon. Sedang pihak yang satunya ”meyakinkan”
masyarakat bahwa yang menag itu belum tentu baik. Namun, ada satu kegiatan yang
sebenernya sama – sama dilakukan oleh masing – masing pihak, PENCITRAAN.
*****
Dipungkiri atau tidak, ketika seseorang hedak maju
sebagai calon pemimpin, maka orang yang berada di sekitarnya akan melakukan
tahap awal dalam mensosialisasikan sang calon. PENCITRAAN. Pencitraan adalah
suatu proes yang dilakukan seseorang untuk membuat orang lain itu dikenal oleh
masyarakat. Citra ini bisa dibangun. Caranya adalah dengan menyampaikan
informasi secara terus menerus tentang seseorang atau tentang suatu hal tentang.
Akhirnya dari informasi yang dilakukan secara terus menerus maka orang tersebut
akan memiliki kesan dan brand tersendiri untuk dirinya.
Inilah yang dilakukan oleh media pada saat itu. Mencitrakan
Jokowi sebagai walikota yang sukses di Solo. Belum lagi citra tentang
mendukungnya terhadap pendidikan dengan program mobil Esemka yang terus
dipromosikan. Masyarakat sangat senang ketika pemberitaan tentang Jokowi
berlangsung. Seakan mereka telah menemukan sosok pemimpin Jakarta masa depan. Media
tak kalah bahagia. Dengan pencitraan yang dilakukan maka ratting beritanya akan
naik pula.
Tak mau kalah dengan dengan rivalnya. Fauzi Bowo juga
melakukan hal yang sama. Bahkan ia lebih mudah sehrusnya ketika melakukan
pencitraan di Jakarta. Pengalamannya memimpin Jakarta selama 5 tahun seharusnya
menjadi kelebihan tersendiri bagianya untuk mngetahui karakter masyaraktak
Jakarta. Ia terus melakukan sosialisasi tentang program – program yang telah
berhasil dikerjakan saat ia menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Kedua pihak saling merebut simpati masyarakat dengan
caranya masing – masing.
*****
Saya meyakini bahwa orang pasti ingin dicitrakan dengan
citra yang baik. Terlebih ketika orang tersebut ingin menjadi seorang pemimpin.
Sejak awal ia harus membangun citra yang positif di hadapan rakyatnya. Banyak
alasannya, selain untuk memenangkan simpati masyarakat, sebenarnya Citra juga
dibangun untuk menjaga kondisi agar sang pemimpin tersebut ingat apa yang
pernah menempel di dirinya. Ingat akan apa yang akan dilakukan olehnya ketika
ia memimpin rakyatnya.
Sayangnya, kegiatan pencitraan ini banyak disalahartikan
oleh beberapa pihak , yang memang hanya ingin memenangkn suaranya di kantong
tertentu. Pencitraan hanya dilakukan di awal kegiatan. Karena sifatnya yang
bisa dibentuk, maka setiap kegiatan kita bisa menjadi citra untuk diri kita
sendiri. Akhirnya tiap orang berlomba – lomba untuk membuat citra yang positif
dan baik tentang seseorang, tidak peduli bagaimana akhirnya.
Setelah seseorang memiliki brand atau citra yang baik,
secara naluriah seharusnya seseorang harus memiliki integritas untuk
mempertahankannya. Karena setelah seseorang memiliki suatu nilai yang telah
disematkan oleh orang lain terhadap dirinya. Dan ketika orang tersebut telah
memiliki nilai yng telah disematkan orang lain terhdap dirinya, maka ia
diharapkan menjdi panutan dan teladan untuk orang – orang yang ada di
sekitarnya. Alangkah baiknya ketika seseorang yang telah memiliki nilai yang
baik dan telah menempel di dirrinya kemudian orang tersebut memiliki kemampuan
dan menjaga integritasnya agar orang lain tetap percaya kepadanya....
Inilah yang seharusnya menjadi sedikit koreksi bagi calon
pemimpin DKI Jakarta. Saat ini secara dministratif Jokowi masih menjabat
sebagai Walikota Solo. Disana ia pun telah tercitrakan sebagai wlikota yang
baik dan sangat dekat dengan rakyatnya. Sehingga rakyatnya suka kepadanya. Namun
kalau kita bicara tenteng loyalitas, Jokowi perlu ditanyakan. Memang, ia dapat
menjadi panutan warga Solo bahkan mungkin bagi sebagian kepala daerah di
Indonesia karena ia sangat dengan warganya. Namun, inisiatifnya untuk
meninggalkan warganya di Solo lalu ”berkarir” di Jakarta itulah yang seharusnya
menjadi poin koreksi tersendiri bagi warga Solo. Ia memang sdah banyak
melakukan banyak perubahan di Solo, ia juga telah dekat dengan warga Solo. Namun,
ia tetap tidak menyelesaikan janjinya di Solo.
Lain hal Jokowi, Foke banyak tersandung masalah
integritas di Jakarta. Ia memang masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta
sampai Oktober nanti. Namun tampaknya warga Jakarta sudah tidak betah menjadi
rakyat Foke. Sikapnya yang kadang tidak bisa menjadi panutan warga Jakarta
itulah yang membuat masyarakat Jakarta berfikir kembali untuk menjadikan Foke sebagai
Pemimpinnya. Satu sisi pemimpin harus mengayomi warganya, ia kadang terlihat
marah – marah dengan warganya. Ketika warga Jakarta memutuhkan transportasi
yang baik, program transpotasi massal yang dicanangkannya baru muncul ketika ia
akan turun. Hmmm...
*****
Bentuk integritas yang dapat kita lakukan tidak hanya
mempertahankan nilai – nilai yang kita miliki yang telah diberikan oleh orang
lain. Ketika kita mampu tetap bertahan dengan segala macam yang sedang mendera
kita dan kita tidak meninggalkan orang – orang yang berada di sekitar kita maka
itu juga merupakan integritas. Karena integritas inilah yang nantinya akan
melahirkan nilai selanjutnya, Reputasi.
Reputasi adalah brand terahir terhadap seseorang yang
telah tersemat dalam dirinya ketika ia telah selesai melakukan kegiatan
terakhirnya. Reputasi inilah yang akan mengingatkan orang lain tentang dirinya
dan akan membuat orang lain mempertimbangkan tentang dirinya untuk kegiatan
atau untuk memberikan kepercayaan kembali kepadanya di lain waktu. Reputasi ini
menunjukkan kondisi real dari seseorang tentang apa yang dilakukan oleh orang
tersebut.
Dalam hal reputasi Jokowi masih bisa sedikit selamat dari
Foke. Keberhasilannya di Solo membuat reputasi namanya melambung di jajaran
pemimpin daerah. Namun, kembali lagi ke Integritas dan loyalitas yang
seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin tadi. Apabila Jokowi tak pandai –
pandai memelihara dan menjaga integritasnya di Jakarta 5 tahun mendatang,
jangan salahkan warga Jakarta apabila ia akan terCap sebagai seseoarang yang
tidak memiliki loyalitas. Dan sebagai warga Solo sebaiknya juga bisa melihat
kondisi pemimpin daerahnya, benarkah ia memiliki integritas dan loyalitas
terhadap daerahnya, minimal selama mereka belum ditinggalkan.
Loyalitas Foke untuk Jakarta, sebenernya tidak diragukan lagi.
Kesetiaannya menjaga ibukota sampai (hampir) 2 periode ini menunjukkan bahwa ia
terlihat sedikit serius ingin menangani Ibukota. Sayangnya, reputasi berkata
lain. Integritasnya untuk membenahi ibukota tidak sempat ia wujudkan. Bahkan ia
pun sempat dilaporkan meninggalkan sejumlah maslaah sebelum ia turun. Sehingga kondisi
integritasnya, perlu dipertanyakan pula.
*****
Saat ini kita sedang berada pada fase
memperhatikan bagaimana seseorang mencitrakan dirinya. Sayangnya citra yang
dibangun tidak membuat dia tetap menjaga integritas yang diberikan yang
seharusnya dapat membuat ia dapat menjadi panutan untuk orang yang ada di
sekitarnya. Entah reputasi apa yang akan diterimanya...
Wallohu’alaam
. .
Ciputat, Ahad, 23 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar