Selama negeri ini berdiri, selama itu pula roda perekonomian itu terjadi.
Selama negeri ini mulai merdeka, selama itu pula negeri ini mencoba berjuang
memerdekakan salah satu ruas tulang punggung kemajuan suatu negara, Ekonomi.
Sudah 68 tahun Indonesia merdeka. Selama itu pula negeri ini mencoba mengatur
dan menjalankan roda perekonomian oleh negaranya sendiri. Kalau kita mau
mengukur dengan umur kehidupan seseorang, seharusnya Indonesia telah menjdi
negara yang memiliki cucu, dan ketika seseorang telah memiliki cucu, minimal
orang tersebut telah sejahtera kehidupannya.
Sayangnya, negeri ini belum mampu. Salah satu yang menyebabkan Indonesia
belum mampu menjadi raksasa ekonomi adalah banyaknya dominasi asing yang
mencengkeram negeri ini. Tahun 2011 penguasaan/kepemilikan asing kurang lebih pada sektor
pertambangan mencapai 75%, sektor perbankan 47,02%, industri telekomunikasi
24-95%. Fakta lain yang sungguh ironis adalah, ada sebuah perusahaan asal
Singapura menguasai 85 ribu hektar perkebunan sawit di Indonesia, sementara
luas negara Singapura sendiri kurang dari 70 ribu hektar (Sumber Kompas, 25 Mei
2011). Kebutuhan pokok pangan seperti beras, kedelai, gula, daging sapi garam
masih pula diperoleh dengan cara mengimpor. Cicilan hutang pokok plus
bunga yang dibayar dalam 6 tahun terakhir adalah 877,633 triliun (SD-IGJ,
2010), lebih besar dari APBN 2007 dan melebihi seluruh pendapatan dari pajak
setahun.
Belum lagi permasalahan kontrak dengan asing terhadap SDA Indonesia yang
selalu diperbaharui. Alih – alih ingin menambah pemasukan terhadap APBN atas
bagi hasil yang diberikan, pemerintah tetap saja membiarkan tanah air ini
dikuasai oleh pihak lain. Sedang bagi hasil yang diberikan, nyatanya tak mampu
membuat negeri ini mengalami penambahan pendapatan yang signifikan. Yang
terjadi malah ’kebocoran pendapatan’ yang tak jelas jatuh dimana.
Pada dasarnya tidak hanya objek ekonomi yang
menjadi sasaran penguasaan asing, tetapi mulai dari sistem ekonomi yang
membangun dan menjadi landasan gerak bagi perekonomian negeri ini juga telah
berada dalam kekuasaan asing. Indonesia saat dulu menerapkan prinsip ekonomi
kerakyatan, melalui koperasi telah menunjukkan kemajuan yang cukup baik.
Terutama di kalangan masyarakat desa dan di daerah. Mereka yang masih
menggunakan sistem kerakyatan yang murni, yang masih ’bergantung’ pada pasar
tradisional sebagai landasan untuk mendistribusikan hasil panennya, tentu akan
merasakan manfaatnya. Hal ini dikarenakan segala proses ekonomi yang terjadi
merupakan proses yang dilakukan secara riil. Sat barang dagangan ada maka alat
tukar pun ada. Namun, saat ini yang terjadi adalah adalah sebaliknya. Sistem
ekonomi Indonesia perlahan mulai masuk pada fase ekonomi neoliberalisme. Dimana
dalam sistem tersebut mengedepankan
perdagangan bebas, spekulasi valas, pasar dan komoditas. Apabila hal
tersebut terjadi terus menerus maka yang terjadi adalah, di semua sisi proses
ekonomi Indonesia, tidak ada proses ekonomi yang terjadi secara riil, semuanya
hanya diangan-angan. Kita bisa saja mengatakan ekonomi Indonesia mengalami
peningkatan, tetapi peningkatannya tersebut hanya di atas kertas tidak muncul
sebagai hal yang nyata.
Kondisi ini diperkeruh dengan kerja sama
perdagangan bebas yang juga disepakati oleh Indonesia dengan dengan beberpa
negara. Secara substansial mungkin perjanjian tersebut dapat memacu kegiatan
ekonomi dan membuat ekonomi Indonesia semakin bergelut. Namun, hal ini
tampaknya tidak menunjukkan progres yang baik. Hal ini disebabkan karena yang
terjadi di lapangan adalah produk dari luar negeri malah membanjiri Indonesia.
Produsen dalam negeri tidak mampu mencegah itu. Karena lagi – lagi peran
pemerintah yang menjadi faktor utama. Pemerintah diharapkan lebih tegas dalam
mengkomodir segala sesuatu yang menjadi kebijakan perekonomian negeri ini.
Telah banyak bukti yang mengatakan bahwa pemerintah
telah ’menjual’ sistem ekonomi Indonesi dan ’membeli’ sistem ekonomi dari luar
negeri, yang pada dasarnya tak cocok dengan kultur Indonesia. Kultur kita yang
lebih banyak pada karakter ekonomi riil, tanpa disadari telah mulai tergerus
dengan sistem yang bersifat angan – angan. Padahal dengan sistem ekonomi yang
berpijak pada sektor riil, maka kemajuan ekonomi akan lebih mudah diukur.
Dengan sistem ekonomi yang bersifat riil pula, maka ketika krisis ekonomi
sempat melanda dunia, Indonesia menjadi salah satu negara yng mampu bertahan.
Pemberian modal kepada para pengusaha yang bersifat pinjmn lunak, sebenarnya
juga akan lebih membantu mereka dalam mewujudkan kegiatan ekonomi. Sayangnya
pemberian modal yang dilakukan pemerintah, bisa dikatakan juga memberatkan. KUR
misalnya, dengan rate bunga sebesar 22% persen pertahun, maka dapat dikatakan
seorang pengusaha harus membayar rate bunga sebesar 2% perbulan. Ini tentu akan
membuat para pengusaha berfikir dua kali untuk mengajukan pembiayaan. Belum
lagi biaya lain yang nantinya akan ikut serta dalam proses pengadaan modal
tersebut. Sistem ini juga yang menjebak Indonesia pada kondisi berhutang.
Apabila hutang dari asing telah masuk maka tekanan asing dan intervensi mereka
akan dengan mudah terjadi.
Penantian itu...
Para pendiri bangsa ini mungkin tidak pernah menduga di usia 68 tahun kemerdekaan, Indonesia belum
sepenuhnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri dalam bidang ekonomi, jumlah
orang miskin mencapai 30,02 juta orang (BPS, Maret, 2011) dan maraknya kasus
KKN dan kiriminalitas yang terus saja
menggerogoti tiap rusuk punggung ekonomi negeri ini. Ketegasan pemerintah yng
diharapkan juga tak jua muncul sebagai suatu tindakan yang ‘menyelamatkan’
negeri ini, minimal psikologis warga masyarakatnya.
Di bidang ekonomi, kalau saja pemerintah mau
memanfaatkan anak negeri ini dalm mengelola SDA yang ada tentu negeri ini lebih
bisa menghemat dari segala aspek. Mulai dari pembayaran pegawai dan peralatan
yang diterima. Selain itu hsil yng didapatkan juga akan lebih tinggi nilainya.
Kalau sebelumnya negeri ini hanya menjual barang mentah dengan harga yang
rendah, maka ketika bahan baku tersebut diolah dan menjadi bahan setengah jadi
tentu harganya juga akan meningkat. hal ini tidak hanya akan membuat pengusaha
diuntungkan, tetapi juga negara akan diuntungkan.
Selain itu ketegasan pemerintah dalam membatasi
waktu untuk pemanfaatan SDA di negeri ini oleh asing juga harus diperbaiki.
Semakin kita lembek terhadap intevensi asing, maka semakin mudah pula mereka
masuk untuk menjajah negeri ini. Ketika negeri ini telah tegas, maka harga diri
negeri ini akan dipertimbangkan pula.
Sistem pemberian modal usaha yang selama ini
dilakukan adalah pemberian modal usaha berbasis kredit. Pemahaman yang beredar
di masyarakat adalah ketika menggunakan modal berbasis kredit adalah sekalipun
sebuah usaha tidak memiliki untung, maka ia harus tetap membayar cicilan
kredit. Hal itu tentu akan membuat sebuah usaha menjadi lebih sulit. Sehingga
konsep untuk memberikan modal usaha akan lebih baik jika menggunakan konsep
bagi hasil. Dalam konsep ini, setiap sebuah usaha yang diberi modal, maka
apabila usaha tersebut mengalami kerugian, maka yang terjadi adalah kerugian
tersebut akan ditanggung oleh pemberi modal dan yang melaksanakannya. Itu tentu
akan lebih adil apabila semua konseo usaha berbasis seperti itu. Selain
pemberian modal, maka pendampingan terhadap para pengusaha muda harus
dilakukan. Hal ini akan membuat mereka merasa dibantu secara keseluruhan.
Dampak yang akan dirasakan mereka akan maksimal melakukan proses usaha
tersebut.
Tidak ada kata terlambat untuk mengubah Indonesia
untuk lebih bermartabat. Setiap generasi muda negeri ini memiliki tanggung
jawab untuk tetap merawat dan mencintai negeri ini. Tiap pemuda pun memiliki
kemampuan dan keahlian masing – masing. Itulah yang seharusnya menjadi
kolaborasi yang baik antarpemuda di negeri ini, sehingga Indonesia bisa menjadi
lebih baik dan bermartabat. Bukan perebutan jabatan apalagi kekuasaan.